Senin, 25 Maret 2013

DEMOKRASI


DEMOKRASI

             1.PENDAHULUAN
Demokrasi adalah suatu bentuk pemerintahan politik yang kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat, baik secara langsung (atau melalui perwakilan (demokrasi perwakilan).I
stilah ini berasal dari bahasa Yunani "kekuasaan rakyat"

             2. PEMBAHASAN
Pemilihan secara langsung

Pemilihan umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik alam perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.
Ciri-ciri suatu pemerintahan demokrasi adalah sebagai berikut:
  • Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik , baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).

  • Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).

  • Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.

  • Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.

  • Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.

  • Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.

  • Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.

  • Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.

  • Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).

Bagaimana sistem pemilu di indonesia

Sistem Pemilu terdiri dari 2 jenis, yaitu :
a. Sistem perwkakilan distrik, yaitu sistem yang ditentukan atas kesatuan geografis/wilayah/daerah/distrik ahnay memilih seorang wakil, jumlah distrik yang dibagi sama dengan jumlah anggota parlemen.
b. Sistem Proporsional, yiatu Pemilihan umum pada tahun ini dengan menggunakan system proporsional.

Sistem proposional (multi member constituency) adalah sistem pemilihan umum, dimana wilayah negara atau wilayah pemilihan dibagi-bagi dalam daerah-daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan dapil, dimana tiap-tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil.
Duverger berpendapat, bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai politik dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik.
Dengan penerapan sistem distrik dapat mendorong ke arah integrasi partai-partai politik dan mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan paksaan.
Sementara dalam sistem proporsional cenderung lebih mudah mendorong fragmentasi partai dan timbulnya partai-partai politik baru.
Sistem ini dianggap mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai (lihat kemenkumham) .

Bangsa indonesia yang heterogen maka, sistem distrik belum dapat dikatakan sebagai sistem pemilu yang efektif, mengapa? Karena hal itu cukup sulit akan terjadinya golongan minoritas yang ada tida terakomodir dengan baik.
Sehingga yang terjadi sekarang yaitu, tetap menerapkan sistem proporsional untuk Indonesia. Namun kekurangannya dari sistem ini yaitu salah satunya adalah dapat bertambahnya jumlah partai yang mengikuti pemilu, sehingga akan dapat menghasilkan perwakilan badan legislative ataupun lainnya yang kurang efektif.
Oleh karena itu dibutuhkan suatu sistem atau aturan, seperti halnya pada tahun 1999 dan 2004 menerapkan Electoral Threshold dan hasilnya dari 48 partai politik pada tahun 1999 menjadi hanya 24 parpol pada tahun 2004.
            Electoral Threshold dalam UU No 12 tahun 2003 merupakan sebagai ambang batas syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Pada pemilu 1999, Indonesia menerapkan electoral threshold sebesar 2% dari suara sah nasional.
Peserta pemilu yang lolos berdasarkan perolehan suara ada enam partai. Dengan demikian, hanya keenem partai yang berhak mengikuti Pemilu 2004, yakni PDI P, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB, Pemilu 2004 menerapkan angka electoral threshold menjadi 3% dari perolehan suara sah nasional.Namun faktanya pada saat pemilu terdapat 17 partai yang berada pada parlemen.

Menurut Prof. Dr. Ryas rasyid dalam pembahasan UU No. 10 Tahun 2008, mengatakan bahwa sistem yang terdapat dalam pemilu yaitu parliamentary threshold yaitu syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk untuk bisa masuk ke parlemen.
Kesimpulannya adalah, dengan kondisi masyarakat yang heterogen maka tetap melaksanakan sistem pemilu yang proporsional namun dengan dilakukannya aturan atau sistem yang dapat membatasi melimpahnya partai politik, yang dapat menghambat keefektifan dalam menjalankan proses pemerintahan sebagai negara yang berkedaulatan rakyat.
Seperti yang telah dikatakan diawal, dalam negara yang berbentuk demokrasi, maka harus terdapat partai politik.

Karena Partai politik pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sengat penting dalam setiap sistem demokrasi.partai politik merupakan sarana penyalur atau penghubung antara pemerintah sebagai wakil rakyat dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
System kepartaian yang digunakan Indonesia saat ini adalah system multi partai, yang didorong karena keanekaragaman budaya politik masyarakat.
Perbedaan ras, agama, dan suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat untuk lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya dalam suatu wadah yang kecil (partai).

          System partai ini sesuai dengan keadaan Indonesia yang beraneka ragam. Tetapi perlu diperhatikan pula pertumbuhan partai maupun partai yang sudah ada, harus diusahakan tidak terlalu banyak karena bila terlalu banyak, tidak akan efektif untuk pemerintahan (terlalu banyak partai, terlalu banyak koalisi, maka terlalu banyak kepentingan yang dibawa partai, sehingga kadang kepentingan rakyat akan dikalahkan oleh kepentingan-kepentingan partai tsb).

          System kepartaian yang lebih efektif sebenarnya adalah system dwi partai, tetapi agaknya sulit untuk diterapkan di Indonesia.
Dalam kajiannya Sistem multipartai (sistem banyak partai) adalah suatu sistem manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan rakyatnya dibentuk atas krajasama dari dua kekuatan atau lebih atau eksekutifnya bersifat heterogen.
Sistem multipartai ini tumbuh disebabkan oleh dua hal yaitu:
  • Kebebasan yang tanpa restriksi untuk membentuk partai-partai politik, seperti halnya di Indonesia setelah adanya Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945.
  • Dipakainya sistem pemilihan umum yang proporsionil
Jadi, sistem multipartai serta sistem pemilu proporsional merupakan sistem yang tepat untuk bangsa Indonesia yng heterogen, Karena multipartai maka dipakailah suatu sistem pemilu yang proporsional.

Dasar hukumnya

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara Indonesia menganut paham demokrasi yang artinya kekuasaan atau kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hal ini tercermin dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar. Pada penegasan yang lain, Konstitusi kita juga menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah Negara Hukum.

Upaya penerapan Cita Negara Hukum Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945.

Diskursus tentang negara hukum mulai berkembang saat mencuatnya pemikiran tentang teori hukum alam yang tumbuh di Eropa pada abad ke-17 hingga abad ke-18.
Secara umum dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam konsepsi tentang negara hukum, yang terdiri atas konsep negara hukum dalam arti rechtsstaat, dan negara hukum dalam pengertian sebagai the rule of law.
           Istilah rechtsstaat dikenal dalam negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte.
Sedangkan the rule of law, dikembangkan dalam negara-negara anglo saxon, para penganut common law, yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris.
Namun demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud yang serupa, yaitu adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia, dan penghormatan atas martabat manusia the dignity of man.
Konsep Negara Hukum di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, adanya prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh pihak yang berkuasa.

           Dalam paham Negara Hukum yang demikian itu menurut Jimly (2003), pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomcrasy) dan doktrin ‘the Rule of Law, and not of Man’.

Dalam kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).

Franz Magnis Suseno (1991: 295-297) menyatakan bahwa Ide dasar dari negara hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar hukum yang baik dan adil.
Oleh karena itu, dalam negara hukum tercakup 4 (empat) tuntutan dasar, yaitu:
Pertama: tuntutan kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat;
Kedua: tuntutan bahwa hukum berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara; ketiga: legitimasi demokratis dimana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan mendapat persetujuan rakyat ; dan
Keempat: tuntutan akal budi yaitu menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.
Pentingnya pembatasan terhadap kekuasaan negara/ pemerintah ini didasari oleh falsafah Lord Acton yang menyatakan bahwa manusia yang mempunyai kekuasaaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan menyalahgunakannya (power tends to corrupt, but absolute power corrupt absolutely).
Gagasan untuk membatasi kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara itulah yang dinamakan democrasy constitusional.
Ciri-cirinya adalah pemerintahan yang terbatas kekuasaannya, dan tidak dibenarkan bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.
Pembatasan atas kekuasaan pemerintahan tercantum dalam konstitusi, sehingga sering disebut sebagai pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dengan tertib berpikir demikian, maka dipahami bahwa konstitusi merupakan sarana untuk membatasi penguasa negara.
Penggunaan konstitusi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan negara telah melahirkan paham konstitusionalisme.
Di dalam gagasan konstitusionalisme tersebut, konstitusi atau undang-undang dasar tidak hanya merupakan suatu dokumen yang mencerminkan pembagian kekuasaan (anatomy of a power relationship) saja, tetapi dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi kekuasaan dan dipihak lain untuk menjamin hak-hak asasi politik warga negaranya.

         Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil Government by laws, not by men”.
Perkembangan konstitusionalisme yang didasarkan pada konstitusi sebagai hukum tertinggi yang mengatur lembaga-lembaga negara, memberi kewenangan dan membatasi penggunaannya, secara tradisional hanya didasarkan pada konstitusi yang lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan (separation of powers) dan/atau pembagian kekuasaan Negara (division of powers), untuk mencegah pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan untuk mencegah kesewenang-wenangan serta penindasan atas hak-hak warga.

Konstitusionalisme tradisional atas dasar pembatasan kekuasaan semacam itu, tidak menegaskan hak asasi manusia sebagai bagian dari pembatasan yang substantif atas kekuasaan yang diselenggarakan oleh cabang-cabang kekuasan yang ada.

Analisa kelemahan sistem pemilu tersebut

Beberapa hari yang lalu di DPR sedang ramai dibahas mengenai RUU Pemilu dimana alotnya pembahasan mengenai sistem pemilu dan Sekarang sudah disahkan menjadi UU Pemilu sebagai pedoman Pemilu di 2014 nanti.
Di dunia ini hanya dikenal tiga sistem pemilu: mayoritarian, proporsional dan campuran. Yang membedakan sistem mayoritarian dengan sistem proporsional adalah dua hal: pertama, besaran daerah pemilihan; kedua, formula perolehan kursi.
Dalam sistem pemilu mayoritarian (yang di sini secara salah kaprah disebut sistem distrik, padahal distrik itu sama dengan daerah pemilihan), jumlah kursi di setiap daerah pemilihannya adalah tunggal, 1 atau satu paket.
Sementara formula perolehan kursinya adalah suara terbanyak, bisa metode mayoritas (A>B+C+D, atau 50 persen plus 1), bisa pluralitas (A>B>C>D, atau yang paling banyak yang menang).Sementara itu dalam sistem pemilu proporsional, jumlah kursi di setiap daerah pemilihannya jamak, atau banyak, atau 2 atau lebih.
Sementaranya formula perolehan kursinya adalah proporsional. Prinsip formula proporsional adalah persentase perolehan suara hampir sama dengan persentase perolehan kursi. Artinya, jika partai A meraih 20% suara, dia juga akan mendapat lebih kurang 20% kursi.
Semakin persentase perolehan kursi mendekati persentase perolehan suara, lsemakin sesuai dengan prinsip pemilu proporsiona.
Pertanyaannya adalah bagaimana rumus atau formula perolehan kursi itu agar hasilnya benar-benar tidak menyalahi prinsip proporsionalitas.
Dalam ilmu pemilu dikenal dua metode: pertama, metode kuota (yang punya dua varian, yaitu kuota murni dan kuota Droop), dan: kedua metode divisor (yang punya dua varian, yaitu divisor D'hont dan divisor Webster).
Sejak Pemilu 1955, pemilu-pemilu Orde Baru, hingga Pemilu 2009, formula perolehan kursi selalu menggunakan metode kuota murni.
Metode ini disebut juga metode largest rimander atau Kuota-LR karena ada sisa kursi dan sisa suara, juga disebut kuota Hamilton/Hare/Niemayer, menunjuk pada nama yang menemukannya).
Dalam undang-undang pemilu disebut dengan BPP (bilangan pembagi pemilih).
Bagaimana metode kuota bekerja? Gampang saja, bagi perolehan suara masing-masing partai politik dengan jumlah total suara, lalu dikalikan jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan. Hasil bagi dan kali ini biasanya dalam bentuk pecahan atau desimal.
Partai yang memperoleh angka penuh, berarti dapat kursi penuh. Sedang kursi tersisa, dibagikan kepada partai yang mempunyai pecahan terbanyak secara berurutan.
Dalam bahasa udang-undang rumusannya seperti ini. Pertama tentukan BPP atau bilangan pembagi pemilih, dengan cara membagi total suara dengan jumlah kursi yang disediakan di daerah pemilihan.
Selanjutnya bagi perolehan suara masing-masing partai dengan BPP. Partai yang akan mendapat angka penuh berarti dapat kursi, sedang sisa suaranya akan dihitung saat merebut sisa kursi bersama suara partai yang tidak mendapatkan angka penuh.
Hasilnya memang lebih fair jika dibandingkan dengan d'Hont. Bahkan jika dibandingkan dengan kuota murni pun hasilnya lebih fair.
Dengan kata lain metode divisor webster tidak mengandung bias terhadap partai besar maupun partai menengah kecil. Itulah sebabnya metode ini banyak dipakai di negara-negara dunia yang menggunakan sistem pemilu proporsional.

Solusinya

Dalam demokrasi perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka,maka dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung terhadap keadaan politik yang terjadi.
Dengan adanya sistem demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Maka solusinya seperti yang di katakan Bapak Gus Dur , landasan demokrasi adalah keadilan ,dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan.
         3.PENUTUP
Masalah keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal tersebut.




4.DAFTAR PUSTAKA



GLOBALISASI


GLOBALISASI

                    1.PENDAHULUAN

Menurut asal katanya, kata "Globalisasi" diambil dari kata Global, yang maknanya ialah universal.
Achmad Suparman menyatakan Globalisasi adalah suatu proses menjadikan sesuatu (benda atau perilaku) sebagai ciri dari setiap individu di dunia ini tanpa dibatasi oleh wilayah Globalisasi belum memiliki definisi yang mapan, kecuali sekedar definisi kerja (working definition), sehingga bergantung dari sisi mana orang melihatnya.
Ada yang memandangnya sebagai suatu proses sosial, atau proses sejarah, atau proses alamiah yang akan membawa seluruh bangsa dan negara di dunia makin terikat satu sama lain, mewujudkan satu tatanan kehidupan baru atau kesatuan ko-eksistensi dengan menyingkirkan batas-batas geografis, ekonomi dan budaya masyarakat.
Di sisi lain, ada yang melihat globalisasi sebagai sebuah proyek yang diusung oleh negara-negara adikuasa, sehingga bisa saja orang memiliki pandangan negatif atau curiga terhadapnya.
Dari sudut pandang ini, globalisasi tidak lain adalah kapitalisme dalam bentuk yang paling mutakhir.
Negara-negara yang kuat dan kaya praktis akan mengendalikan ekonomi dunia dan negara-negara kecil makin tidak berdaya karena tidak mampu bersaing.
Sebab, globalisasi cenderung berpengaruh besar terhadap perekonomian dunia, bahkan berpengaruh terhadap bidang-bidang lain seperti budaya dan agama.
Theodore Levitte merupakan orang yang pertama kali menggunakan istilah Globalisasi pada tahun 1985.
Jan Aart Scholte melihat bahwa ada beberapa definisi yang dimaksudkan orang dengan globalisasi


      2.PEMBAHASAN

Pengertian
             
             Internasionalisasi: Globalisasi diartikan sebagai meningkatnya hubungan internasional.
Dalam hal ini masing-masing negara tetap mempertahankan identitasnya masing-masing, namun menjadi semakin tergantung satu sama lain.
  • Liberalisasi: Globalisasi juga diartikan dengan semakin diturunkankan batas antar negara, misalnya hambatan tarif ekspor impor, lalu lintas devisa, maupun migrasi.
  • Universalisasi: Globalisasi juga digambarkan sebagai semakin tersebarnya hal material maupun imaterial ke seluruh dunia. Pengalaman di satu lokalitas dapat menjadi pengalaman seluruh dunia.
  • Westernisasi: Westernisasi adalah salah satu bentuk dari universalisasi dengan semakin menyebarnya pikiran dan budaya dari barat sehingga mengglobal.
  • Hubungan transplanetari dan suprateritorialitas: Arti kelima ini berbeda dengan keempat definisi di atas.
Pada empat definisi pertama, masing-masing negara masih mempertahankan status ontologinya.
Pada pengertian yang kelima, dunia global memiliki status ontologi sendiri, bukan sekadar gabungan negara-negara.

Terjadinya globalisasi


    Banyak sejarawan yang menyebut globalisasi sebagai fenomena di abad ke-20 ini dapat dihubungkan dengan bangkitnya ekonomi internasional.
Padahal interaksi antarbangsa di dunia telah ada selama ber abad-abad.
Bila di telusuri benih-benih globalisasi telah tumbuh ketika manusia mulai mengenal perdagangan antar negri sekitar tahun 1000 dan 1500 SM.
Saat itu, para pedagang dari cina dan india mulai menelusuri negeri lain baik melalu jalan darat (jalan sutera) maupun jalan laut untukberdagang.
Fase selanjutnya di tandai dengan dominasi perdagangan kaum Muslim di kawasan Asia dan Afrika.

            Kaum muslim membentuk jaringan perdagangan yang antara lain meliputi cina, jepang , vietnam, indonesia, malaka, india, persia, pantai afrika timur, laut tengah, venesia, dan genoa. di samping membemtuk jaringan dagang, kaum pedagang muslim juga menyebarkan nilai-nilai agamanya, nama-nama, abjad, arsitek,nilai sosial dan budaya arab ke warga dunia.


Fase selanjutnya di tandai dengan eksplorasi dunia secara besar-besaran oleh bangsa eropa.
Spanyol, Portugis, Inggris, dan Belanda adalah pelopor eksplorasi-eksplorasi ini. hal lain di dukung pula dengan terjadinya revolusi industri yang meningkatkan keterkaitan antarbangsa dunia. berbagai teknologi mulai di temukan dan menjadi dasar perkembangan teknologi saat ini, seperti komputer dan internet.
Pada saat itu, berkembang pula kolonialisasi yang membawa pengaruh besar terhadap difusi(penyebaran)antarkebudayaandunia.
Semakin berkembangnya industri dan kebutuhan akan bahan baku serta pasar juga memunculkan berbagai perusahaan multinasional di dunia.
Di Indonesia misalnya, sejak diberlakukanya politik pintu terbuka, perusahaan-perusahaan di eropa membuka berbagai cabangnya di Indonesia.
Freeport dan Exxon dari Amerika serikat, Unilever dari Belanda, British petroleum dari inggris adalah beberapa contohnya.
Perusahaan multinasional seperti ini tetap menjadi ikon globalisasi hingga saat ini.
Fase selanjutnya terus berjalan dan mendapat momentumnya ketika perang dingin berakhir dan komunisme di dunia runtuh.
Runtuhnya komunisme seakan memberi pembenaran bahwa kapitalism adalah jalan terbaik dalam mewujudkan kesejahteraan dunia.
Implikasinya, negara-negara di dunia mulai menyediakan diri sebagai pasar yang bebas. hal ini di dukung pula dengan perkembangan teknologi komunikasi dan transportasi.
Alhasil, sekat-sekat antar negara pun mulai kabur.

Ciri globalisasi


Berikut ini beberapa ciri yang menandakan semakin berkembangnya fenomena globalisasi di dunia.Hilir mudiknya kapal-kapal pengangkut barang antar negara menunjukkan keterkaitan antar manusia di seluruh dunia.Perubahan dalam Konstantin ruang dan waktu.
Perkembangan barang-barang seperti telepon genggam, televisi satelit, dan internet menunjukkan bahwa komunikasi global terjadi demikian cepatnya, sementara melalui pergerakan massa semacam turisme memungkinkan kita merasakan banyak hal dari budaya yang berbeda.
Pasar dan produksi ekonomi di negara-negara yang berbeda menjadi saling bergantung sebagai akibat dari pertumbuhan perdagangan internasional, peningkatan pengaruh perusahaan multinasional, dan dominasi organisasi semacam World Trade Organization (WTO).
Peningkatan interaksi kultural melalui perkembangan media massa (terutama televisi, film, musik, dan transmisi berita dan olah raga internasional). saat ini, kita dapat mengonsumsi dan mengalami gagasan dan pengalaman baru mengenai hal-hal yang melintasi beraneka ragam budaya, misalnya dalam bidang fashion, literatur, dan makanan. Meningkatnya masalah bersama, misalnya pada bidang lingkungan hidup, krisis multinasional, inflasi regional dan lain-lain.
Kennedy dan Cohen menyimpulkan bahwa transformasi ini telah membawa kita pada globalisme, sebuah kesadaran dan pemahaman baru bahwa dunia adalah satu.
Giddens menegaskan bahwa kebanyakan dari kita sadar bahwa sebenarnya diri kita turut ambil bagian dalam sebuah dunia yang harus berubah tanpa terkendali yang ditandai dengan selera dan rasa ketertarikan akan hal sama, perubahan dan ketidakpastian, serta kenyataan yang mungkin terjadi. Sejalan dengan itu,
Peter Drucker menyebutkan globalisasi sebagai zaman transformasi sosial.


Pengaruh globalisasi bagi masyrakat indonesia

Dampak globalisasi ternyata tidak dapat dihindari manusia. Contohnya adalah bahwa dengan teknologi transportasinya manusia menjangkau setiap bagian bumi, bahkan satelit bumi dapat didatangi dan planet lain (dalam tata surya kita) dapat didekati.
Demikian pula dengan teknologi komunikasinya manusia mampu melengkapi dirinya dengan informasi dari dan terulang setiap bagian dunia.

Dengan semuanya itu tampak bahwa dunia seolah tidak terbagi-bagi lagi, di samping bahwa bangsa-bangsa di bumi seolah tidak berjarak lagi.Itu berarti bahwa segala sesuatu menjadi global. Sedangkan akibatnya adalah bahwa ungkapan-ungkapan seperti "sebatas lokal", "sebatas regional", dan "dinding tidak bertelinga" tidak berlaku lagi. 

Dengan demikian, secara teoritis, apa yang ada di Jakarta ada pula di Washington.Apa yang dibisikkan di Jakarta terdengar pula di Washington dan sebaliknya. 

Contoh konkret adalah bahwa jean ada baik di Washington maupun Jakarta, dan peristiwa Dilli terdengar baik di Jakarta maupun Washington.
Contoh tersebut secara mendasar sebenarnya hendak berkata-kata bahwa teknologi transportasi dan teknologi komunikasi yang semakin canggih mampu menghubungkan umat manusia di seluruh bagian dunia, sehingga terciptalah satu kehidupan bersama satu masyarakat, yang meliputi seluruh umat manusia dengan sejarah kehidupan bersama, sejarah umat manusia.Masih tentang dampak globalisasi, maka dengan tegas harus dikatakan bahwa globalisasi dapat membawa dampak baik yang bersifat positif maupun yang bersifat negatif. Untuk jelasnya ada baiknya diberikan contohnya masing-masing.

Dampak Positif 


        Dalam kenyataan-kenyataan di atas yaitu pertama, hanya dengan satu medium saja berjuta-juta manusia dapat menyaksikan pertandingan yang bergengsi lewat layar televisi, dan kedua,
bahwa globalisasi telah membawa dampak terciptanya satu masyarakat yang meliputi seluruh umat manusia telah tampak adanya dampak positif dari globalisasi.
Di samping itu, dalam kadarnya yang lebih mendalam, dapat disebutkan pula bahwa terciptanya kehidupan bersama yang meliputi seluruh umat manusia pada dirinya akan memungkinkan keterbukaan, penghargaan, dan penghormatan satu terhadap yang lain, orang yang satu terhadap orang yang lain, suku bangsa yang satu terhadap suku bangsa yang lain, bangsa yang satu terhadap bangsa yang lain.Pada gilirannya keadaan yang demikian dapat menjadi landasan bahwa kemanusiaan manusia semakin dijunjung tinggi.
         Dampak positif lainnya agaknya dapat disebut yaitu bahwa globalisasi dapat memungkinkan terjadinya perubahan besar pada pola hidup manusia, misalnya pada cara kerja manusiamanusia akan semakin aktif dalam memanfaatkan, menanam, dan memperdalam kapasitas individunya manusia semakin ingin menampilkan nilai-nilai manusiawi dan jati diri budayanya.

Dampak negatif

         Dampak negatif dari globalisasi di antaranya adalah sebagai berikut.
Globalisasi, proses mendunia yang dimungkinkan oleh teknologi informasi yang canggih, dapat menyebabkan merembesnya budaya dari negara maju (yang adalah pemasok informasi) ke negara berkembang.
Perembesan budaya tersebut tidak mustahil dapat menyebabkan ketergantungan budaya negara berkembang pada negara maju.
Di samping itu, globalisasi informasi itu sendiri dapat menyebabkan pemerkosaan dan imperialisme budaya negara maju atas negara berkembang (dalam hal ini negara yang lebih lamban dalam perkembangan modernisasinya).

     Hal sedemikian hanya dapat dipahami dalam kaitannya dengan kenyataan bahwa perbedaan laju perkembangan dalam modernisasi akan menyebabkan terjadinya pemaksaan budaya oleh masyarakat yang satu; masyarakat di negara maju, atas masyarakat yang lain, masyarakat di negara berkembang.
Akhirnya perlu dikatakan bahwa walaupun globalisasi tidak dapat disamakan begitu saja dengan westernisasi namun globalisasi sesungguhnya mungkin dapat menyebabkan terjadinya masyarakat yang individualistis dan yang tidak agamawi.
Sehubungan dengan itu, agaknya perlu disimak tulisan-tulisan para futurolog yang secara tidak langsung mengingatkan kita bahwa orang zaman ini, jadi orang modern itu, akan mengalami kekosongan spiritual yang hebat.
         Orang modern pasti akan mencari kompensasi untuk mengisi kekosongan seperti itu, yang tidak jarang dicarinya secara serampangan.
Akhirnya perlu ditegaskan bahwa proses globalisasi sesungguhnya berjalan terus. 
Dewasa ini orang belum mengetahui secara pasti bagaimana jalannya dan bagaimana nantinya.
Sehubungan dengan hal ini dalam konteks Indonesia agaknya perlu digarisbawahi dua hal. 
          Pertama, bahwa Indonesia pada hakikatnya telah berdiri di ambang pintu proses globalisasi. 
Oleh karena itu menurut para teknolog Indonesia tidak dapat menghindari kemajuan teknologi komunikasi dan teknologi informasi.
Pendapat sedemikian dapat dimengerti, mengingat tidak ada seorang pun yang dapat luput dari proses globalisasi itu. Kedua, bahwa karena itu bangsa Indonesia tidak bisa tidak harus terlibat dalam proses globalisasi itu dengan cara memanfaatkan dan melaju di dalamnya agar dapat menikmatinya.

Bila tidak demikian, ia akan tertinggal atau bahkan akan terhempas dari proses globalisasi, sehingga proses globalisasi tidak hanya. tidak membawa manfaat melainkan juga akan menghancurkannya. Kedua hal tersebut sesungguhnya berlaku bagi Gereja-gereja di Indonesia.


            3. KESIMPULAN 
Kesimpulan
Pada dasarnya globalisasi adalah suatu proses penyebaran unsur-unsur baru yang menyangkut secara mendunia melalui media cetak dan elektronik.


            4. DAFTAR PUSTAKA