DEMOKRASI
1.PENDAHULUAN
Demokrasi
adalah
suatu bentuk pemerintahan
politik
yang
kekuasaan pemerintahannya berasal dari rakyat,
baik secara langsung (atau melalui perwakilan (demokrasi
perwakilan).I
2.
PEMBAHASAN
Pemilihan
secara langsung
Pemilihan
umum secara langsung mencerminkan sebuah demokrasi yang baik alam
perkembangannya, demokrasi menjadi suatu tatanan yang diterima dan
dipakai oleh hampir seluruh negara di dunia.
- Adanya keterlibatan warga negara (rakyat) dalam pengambilan keputusan politik , baik langsung maupun tidak langsung (perwakilan).
- Adanya pengakuan, penghargaan, dan perlindungan terhadap hak-hak asasi rakyat (warga negara).
- Adanya persamaan hak bagi seluruh warga negara dalam segala bidang.
- Adanya lembaga peradilan dan kekuasaan kehakiman yang independen sebagai alat penegakan hukum.
- Adanya kebebasan dan kemerdekaan bagi seluruh warga negara.
- Adanya pers (media massa) yang bebas untuk menyampaikan informasi dan mengontrol perilaku dan kebijakan pemerintah.
- Adanya pemilihan umum untuk memilih wakil rakyat yang duduk di lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pemilihan umum yang bebas, jujur, adil untuk menentukan (memilih) pemimpin negara dan pemerintahan serta anggota lembaga perwakilan rakyat.
- Adanya pengakuan terhadap perbedaan keragamaan (suku, agama, golongan, dan sebagainya).
Bagaimana
sistem pemilu di indonesia
Sistem
Pemilu terdiri dari 2 jenis, yaitu :
a. Sistem
perwkakilan distrik, yaitu sistem yang ditentukan atas kesatuan
geografis/wilayah/daerah/distrik ahnay memilih seorang wakil, jumlah
distrik yang dibagi sama dengan jumlah anggota parlemen.
b. Sistem
Proporsional, yiatu Pemilihan umum pada tahun ini dengan menggunakan
system proporsional.
Sistem proposional (multi member constituency) adalah sistem pemilihan umum, dimana wilayah negara atau wilayah pemilihan dibagi-bagi dalam daerah-daerah pemilihan yang dikenal dengan singkatan dapil, dimana tiap-tiap daerah jumlah wakil yang akan duduk dalam perwakilan lebih dari satu orang wakil.
Duverger
berpendapat, bahwa upaya mendorong penyederhanaan partai politik
dapat dilakukan dengan menggunakan sistem distrik.
Dengan penerapan
sistem distrik dapat mendorong ke arah integrasi partai-partai
politik dan mendorong penyederhanaan partai tanpa harus melakukan
paksaan.
Sementara dalam
sistem proporsional cenderung lebih mudah mendorong fragmentasi
partai dan timbulnya partai-partai politik baru.
Sistem
ini dianggap mempunyai akibat memperbanyak jumlah partai (lihat
kemenkumham)
.
Bangsa indonesia yang heterogen maka, sistem distrik belum dapat dikatakan sebagai sistem pemilu yang efektif, mengapa? Karena hal itu cukup sulit akan terjadinya golongan minoritas yang ada tida terakomodir dengan baik.
Sehingga
yang terjadi sekarang yaitu, tetap menerapkan sistem proporsional
untuk Indonesia. Namun kekurangannya dari sistem ini yaitu salah
satunya adalah dapat bertambahnya jumlah partai yang mengikuti
pemilu, sehingga akan dapat menghasilkan perwakilan badan legislative
ataupun lainnya yang kurang efektif.
Oleh
karena itu dibutuhkan suatu sistem atau aturan, seperti halnya pada
tahun 1999 dan 2004 menerapkan Electoral
Threshold dan hasilnya dari 48 partai politik pada tahun 1999 menjadi
hanya 24 parpol pada tahun 2004.
Electoral
Threshold dalam UU No 12 tahun 2003 merupakan sebagai ambang batas
syarat angka perolehan suara untuk bisa mengikuti pemilu berikutnya.
Pada
pemilu 1999, Indonesia menerapkan electoral
threshold
sebesar
2%
dari suara sah nasional.
Peserta
pemilu yang lolos berdasarkan perolehan suara ada enam partai. Dengan
demikian, hanya keenem partai yang berhak mengikuti Pemilu 2004,
yakni PDI P, Golkar, PKB, PPP, PAN, dan PBB, Pemilu 2004 menerapkan
angka electoral
threshold
menjadi
3% dari perolehan suara sah nasional.Namun faktanya pada saat pemilu
terdapat 17 partai yang berada pada parlemen.
Menurut Prof. Dr.
Ryas rasyid dalam pembahasan UU No. 10 Tahun 2008, mengatakan bahwa
sistem yang terdapat dalam pemilu yaitu parliamentary
threshold
yaitu
syarat ambang batas perolehan suara parpol untuk untuk bisa masuk ke
parlemen.
Kesimpulannya
adalah, dengan kondisi masyarakat yang heterogen maka tetap
melaksanakan sistem pemilu yang proporsional namun dengan
dilakukannya aturan atau sistem yang dapat membatasi melimpahnya
partai politik, yang dapat menghambat keefektifan dalam menjalankan
proses pemerintahan sebagai negara yang berkedaulatan rakyat.
Seperti
yang telah dikatakan diawal, dalam negara yang berbentuk demokrasi,
maka harus terdapat partai politik.
Karena Partai politik pada pokoknya memiliki kedudukan dan peranan yang sengat penting dalam setiap sistem demokrasi.partai politik merupakan sarana penyalur atau penghubung antara pemerintah sebagai wakil rakyat dengan rakyat sebagai pemegang kedaulatan tertinggi.
System kepartaian
yang digunakan Indonesia saat ini adalah system multi partai, yang
didorong karena keanekaragaman budaya politik masyarakat.
Perbedaan
ras, agama, dan suku bangsa mendorong golongan-golongan masyarakat
untuk lebih cenderung menyalurkan ikatan-ikatan terbatasnya dalam
suatu wadah yang kecil (partai).
System
partai ini sesuai dengan keadaan Indonesia yang beraneka ragam.
Tetapi perlu diperhatikan pula pertumbuhan partai maupun partai yang
sudah ada, harus diusahakan tidak terlalu banyak karena bila terlalu
banyak, tidak akan efektif untuk pemerintahan (terlalu banyak partai,
terlalu banyak koalisi, maka terlalu banyak kepentingan yang dibawa
partai, sehingga kadang kepentingan rakyat akan dikalahkan oleh
kepentingan-kepentingan partai tsb).
System
kepartaian yang lebih efektif sebenarnya adalah system dwi partai,
tetapi agaknya sulit untuk diterapkan di Indonesia.
Dalam
kajiannya Sistem multipartai (sistem banyak partai) adalah suatu
sistem manakala mayoritas mutlak dalam lembaga perwakilan rakyatnya
dibentuk atas krajasama dari dua kekuatan atau lebih atau
eksekutifnya bersifat heterogen.
Sistem multipartai
ini tumbuh disebabkan oleh dua hal yaitu:
- Kebebasan yang tanpa restriksi untuk membentuk partai-partai politik, seperti halnya di Indonesia setelah adanya Maklumat Pemerintah Tanggal 3 November 1945.
- Dipakainya sistem pemilihan umum yang proporsionil
Jadi,
sistem multipartai serta sistem pemilu proporsional merupakan sistem
yang tepat untuk bangsa Indonesia yng heterogen, Karena multipartai
maka dipakailah suatu sistem pemilu yang proporsional.
Dasar
hukumnya
Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945 menyatakan bahwa Negara
Indonesia menganut paham demokrasi yang artinya kekuasaan atau
kedaulatan berada di tangan rakyat.
Hal
ini tercermin dalam pasal 1 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menentukan bahwa kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan
menurut Undang-Undang Dasar. Pada penegasan yang lain, Konstitusi
kita juga menentukan secara tegas bahwa Negara Indonesia adalah
Negara Hukum.
Upaya penerapan Cita Negara Hukum Indonesia dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara yang demokratis bertujuan mewujudkan tata kehidupan bangsa guna melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa, ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial, sesuai dengan amanat pembukaan UUD 1945.
Diskursus tentang negara hukum mulai berkembang saat mencuatnya pemikiran tentang teori hukum alam yang tumbuh di Eropa pada abad ke-17 hingga abad ke-18.
Secara
umum dalam teori negara hukum, dikenal adanya dua macam konsepsi
tentang negara hukum, yang terdiri atas konsep negara hukum dalam
arti rechtsstaat,
dan negara hukum dalam pengertian sebagai the
rule of law.
Istilah rechtsstaat
dikenal
dalam negara-negara Eropa Kontinental, paham ini dikembangkan antara
lain oleh Immanuel Kant, Paul Laband, Julius Stahl, dan Fichte.
Sedangkan
the
rule of law,
dikembangkan dalam negara-negara anglo
saxon,
para penganut common
law,
yang dipelopori oleh A.V. Dicey di Inggris.
Namun
demikian, pada dasarnya kedua konsepsi tersebut memiliki satu maksud
yang serupa, yaitu adanya perlindungan terhadap hak asasi manusia,
dan penghormatan atas martabat manusia the
dignity of man.
Konsep Negara Hukum
di dalamnya terkandung pengertian adanya pengakuan terhadap prinsip
supremasi hukum dan konstitusi, dianutnya prinsip pemisahan dan
pembatasan kekuasaan menurut sistem konstitusional yang diatur dalam
Undang-Undang Dasar, adanya jaminan-jaminan hak asasi manusia, adanya
prinsip peradilan yang bebas dan tidak memihak yang menjamin
persamaan setiap warga negara dalam hukum, serta menjamin keadilan
bagi setiap orang termasuk terhadap penyalahgunaan wewenang oleh
pihak yang berkuasa.
Dalam paham Negara Hukum yang demikian itu menurut Jimly (2003), pada hakikatnya hukum itu sendirilah yang menjadi penentu segalanya sesuai dengan prinsip nomokrasi (nomcrasy) dan doktrin ‘the Rule of Law, and not of Man’.
Dalam kerangka ‘the rule of Law’ itu, diyakini adanya pengakuan bahwa hukum itu mempunyai kedudukan tertinggi (supremacy of law), adanya persamaan dalam hukum dan pemerintah (equality before the law), dan berlakunya asas legalitas dalam segala bentuknya dalam kenyataan praktek (due process of law).
Franz
Magnis Suseno (1991: 295-297) menyatakan bahwa Ide dasar dari negara
hukum ini ialah bahwa kekuasaan negara harus dijalankan atas dasar
hukum yang baik dan adil.
Oleh
karena itu, dalam negara hukum tercakup 4 (empat) tuntutan dasar,
yaitu:
Pertama:
tuntutan
kepastian hukum yang merupakan kebutuhan langsung masyarakat;
Kedua:
tuntutan
bahwa hukum berlaku sama bagi segenap penduduk dan warga negara;
ketiga:
legitimasi
demokratis dimana proses pembentukan hukum harus mengikutsertakan dan
mendapat persetujuan rakyat ; dan
Keempat:
tuntutan
akal budi yaitu menjunjung tinggi martabat manusia dan masyarakat.
Pentingnya
pembatasan terhadap kekuasaan negara/ pemerintah ini didasari oleh
falsafah Lord Acton yang menyatakan bahwa manusia yang mempunyai
kekuasaaan cenderung untuk menyalahgunakan kekuasaan itu, tetapi
manusia yang mempunyai kekuasaan tak terbatas pasti akan
menyalahgunakannya (power
tends
to corrupt, but absolute power corrupt absolutely).
Gagasan
untuk membatasi kekuasaan dalam penyelenggaraan Negara itulah yang
dinamakan democrasy
constitusional.
Ciri-cirinya adalah
pemerintahan yang terbatas kekuasaannya, dan tidak dibenarkan
bertindak sewenang-wenang terhadap warga negaranya.
Pembatasan
atas kekuasaan pemerintahan tercantum dalam konstitusi, sehingga
sering disebut sebagai pemerintahan berdasarkan konstitusi.
Dengan
tertib berpikir demikian, maka dipahami bahwa konstitusi merupakan
sarana untuk membatasi penguasa negara.
Penggunaan
konstitusi sebagai sarana untuk membatasi kekuasaan negara telah
melahirkan paham konstitusionalisme.
Di
dalam gagasan konstitusionalisme tersebut, konstitusi atau
undang-undang dasar tidak hanya merupakan suatu dokumen yang
mencerminkan pembagian kekuasaan (anatomy
of a power relationship)
saja, tetapi dipandang sebagai suatu lembaga yang mempunyai fungsi
khusus, yaitu di satu pihak untuk menentukan dan membatasi kekuasaan
dan dipihak lain untuk menjamin hak-hak asasi politik warga
negaranya.
Konstitusi dipandang sebagai perwujudan dari hukum tertinggi yang harus dipatuhi oleh negara dan pejabat-pejabat pemerintah, sesuai dengan dalil “Government by laws, not by men”.
Perkembangan
konstitusionalisme yang didasarkan pada konstitusi sebagai hukum
tertinggi yang mengatur lembaga-lembaga negara, memberi kewenangan
dan membatasi penggunaannya, secara tradisional hanya didasarkan pada
konstitusi yang lebih menekankan pada pemisahan kekuasaan (separation
of powers)
dan/atau pembagian kekuasaan Negara (division
of powers),
untuk mencegah pemusatan kekuasaan di satu tangan, dan untuk mencegah
kesewenang-wenangan serta penindasan atas hak-hak warga.
Konstitusionalisme tradisional atas dasar pembatasan kekuasaan semacam itu, tidak menegaskan hak asasi manusia sebagai bagian dari pembatasan yang substantif atas kekuasaan yang diselenggarakan oleh cabang-cabang kekuasan yang ada.
Analisa
kelemahan sistem pemilu tersebut
Beberapa
hari yang lalu di DPR sedang ramai dibahas mengenai RUU Pemilu dimana
alotnya pembahasan mengenai sistem pemilu dan Sekarang sudah disahkan
menjadi UU Pemilu sebagai pedoman Pemilu di 2014 nanti.
Di
dunia ini hanya dikenal tiga sistem pemilu: mayoritarian,
proporsional dan campuran. Yang membedakan sistem mayoritarian dengan
sistem proporsional adalah dua hal: pertama, besaran daerah
pemilihan; kedua, formula perolehan kursi.
Dalam
sistem pemilu mayoritarian (yang di sini secara salah kaprah disebut
sistem distrik, padahal distrik itu sama dengan daerah pemilihan),
jumlah kursi di setiap daerah pemilihannya adalah tunggal, 1 atau
satu paket.
Sementara
formula perolehan kursinya adalah suara terbanyak, bisa metode
mayoritas (A>B+C+D, atau 50 persen plus 1), bisa pluralitas
(A>B>C>D, atau
yang paling banyak yang menang).Sementara
itu dalam sistem pemilu proporsional, jumlah kursi di setiap daerah
pemilihannya jamak, atau banyak, atau 2 atau lebih.
Sementaranya
formula perolehan kursinya adalah proporsional. Prinsip formula
proporsional adalah persentase perolehan suara hampir sama dengan
persentase perolehan kursi. Artinya, jika partai A meraih 20% suara,
dia juga akan mendapat lebih kurang 20% kursi.
Semakin
persentase perolehan kursi mendekati persentase perolehan suara,
lsemakin
sesuai dengan prinsip pemilu proporsiona.
Pertanyaannya adalah bagaimana rumus atau formula perolehan kursi itu agar hasilnya benar-benar tidak menyalahi prinsip proporsionalitas.
Pertanyaannya adalah bagaimana rumus atau formula perolehan kursi itu agar hasilnya benar-benar tidak menyalahi prinsip proporsionalitas.
Dalam
ilmu pemilu dikenal dua metode: pertama, metode kuota (yang punya
dua varian, yaitu kuota murni dan kuota Droop), dan: kedua metode
divisor (yang punya dua varian, yaitu
divisor D'hont dan divisor Webster).
Sejak
Pemilu 1955, pemilu-pemilu Orde Baru, hingga Pemilu 2009, formula
perolehan kursi selalu menggunakan metode kuota murni.
Metode
ini disebut juga metode largest rimander atau Kuota-LR karena ada
sisa kursi dan sisa suara, juga disebut kuota Hamilton/Hare/Niemayer,
menunjuk pada nama yang menemukannya).
Dalam
undang-undang pemilu disebut dengan BPP (bilangan pembagi
pemilih).
Bagaimana metode kuota bekerja? Gampang saja, bagi perolehan suara masing-masing partai politik dengan jumlah total suara, lalu dikalikan jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan. Hasil bagi dan kali ini biasanya dalam bentuk pecahan atau desimal.
Bagaimana metode kuota bekerja? Gampang saja, bagi perolehan suara masing-masing partai politik dengan jumlah total suara, lalu dikalikan jumlah kursi yang tersedia di daerah pemilihan. Hasil bagi dan kali ini biasanya dalam bentuk pecahan atau desimal.
Partai
yang memperoleh angka penuh, berarti dapat kursi penuh. Sedang kursi
tersisa, dibagikan kepada partai yang mempunyai pecahan terbanyak
secara berurutan.
Dalam
bahasa udang-undang rumusannya seperti ini. Pertama tentukan BPP atau
bilangan pembagi pemilih, dengan cara membagi total suara dengan
jumlah kursi yang disediakan di daerah pemilihan.
Selanjutnya
bagi perolehan suara masing-masing partai dengan BPP. Partai yang
akan mendapat angka penuh berarti dapat kursi, sedang sisa suaranya
akan dihitung saat merebut sisa kursi bersama suara partai yang tidak
mendapatkan angka penuh.
Hasilnya memang lebih fair jika dibandingkan dengan d'Hont. Bahkan jika dibandingkan dengan kuota murni pun hasilnya lebih fair.
Hasilnya memang lebih fair jika dibandingkan dengan d'Hont. Bahkan jika dibandingkan dengan kuota murni pun hasilnya lebih fair.
Dengan
kata lain metode divisor webster tidak mengandung bias terhadap
partai besar maupun partai menengah kecil. Itulah sebabnya metode ini
banyak dipakai di negara-negara dunia yang menggunakan sistem pemilu
proporsional.
Solusinya
Dalam demokrasi
perwakilan, seluruh rakyat memilih perwakilan melalui pemilihan umum
untuk menyampaikan pendapat dan mengambil keputusan bagi mereka,maka
dalam sistem ini, setiap rakyat mewakili dirinya sendiri dalam
memilih suatu kebijakan sehingga mereka memiliki pengaruh langsung
terhadap keadaan politik yang terjadi.
Dengan adanya sistem
demokrasi, kekuasaan absolut satu pihak melalui tirani, kediktatoran
dan pemerintahan otoriter lainnya dapat dihindari.
Maka solusinya
seperti yang di katakan Bapak Gus Dur , landasan demokrasi adalah
keadilan ,dalam arti terbukanya peluang kepada semua orang, dan
berarti juga otonomi atau kemandirian dari orang yang bersangkutan
untuk mengatur hidupnya, sesuai dengan apa yang dia inginkan.
3.PENUTUP
Masalah
keadilan menjadi penting, dalam arti setiap orang mempunyai hak untuk
menentukan sendiri jalan hidupnya, tetapi hak tersebut harus
dihormati dan diberikan peluang serta pertolongan untuk mencapai hal
tersebut.
http://farhanshare.blogspot.com/2012/06/pengertian-demokrasi-dan-unsur-unsurnya.html
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
http://id.wikipedia.org/wiki/Pemilihan_umum_di_Indonesia
Tidak ada komentar:
Posting Komentar